Profil LDK SALMAN UNM

ketemu lagi dengan para penikmat dunia maya...pa kabar.
perkenalkan nama ana SALMAN.
siapa sih lu... geer banget.
Mau tahu siapa SALMAN?
tunggu aja pertemuan berikutnya.
kalo ada sumur di ladang
bolehlah kita numpang mandi
kalo ada butuh tantangan
ketemu lagi lain hari.

2 komentar:

marwan mengatakan...

Arqom bin Abi Arqom
Beliau adalah seorang sahabat yang mulia bernama Al-Arqom bin Abi Al-Arqom al-Qurasyi Al-Makhzumi –semoga Allah meridloinya-, julukannya adalah Abu Abdillah, salah seorang pendahulu yang masuk Islam, dalam riwayat disebutkan bahwa beliau merupakan orang ketujuh yang masuk Islam, dan dalam riwayat lain disebutkan orang kesepuluh.
Dan di dalam rumah yang beliau miliki yang terletak di bukit Sofa Nabi saw dan para sahabatnya berkumpul hingga jauh dari intaian dan incaran orang-orang musyrik; mengajarkan Qur’an kepada mereka dan Syari’at-syari’at Islam, dan di dalam rumah tersebut terdapat orang-orang terkemuka dan pendahulu yang memeluk agama Islam
Al-Qrqom hijrah ke Madinah dan Rasulullah saw mempersaudaraknnya dengan Zaid bin Sahl- semoga Allah meridloi keduanya-. Dan beliau juga mengikuti perang Badar, perang Uhud dan seluruh perang lainnya, bahkan tidak pernah absen dalam mengikuti berbagai perang, dan Rasulullah saw memberikan kepadanya sebuah rumah di Madinah.
Diriwayatkan bahwa Al-Arqom pernah melakukan persiapan untuk berperang, dan ingin ikut serta ke baitul maqdis, dan setelah selesai melakukan persiapan dan perbekalan, Nabi saw datang kepadanya dan berpesan kepadanya, maka Rasulullah saw bertanya kepadanya : “Apa yang menyebabkan kamu mau ikut berperang wahai Abu Abdillah, apakah karena keperluan atau ingin berniaga ? maka Al-Arqom menjawab : Wahai Rasulullah, demi bapakku dan ibuku, saya kesana hanya ingin sholat di Baitul Maqdis, maka Rasulullah saw bersabda kepadanya : Sholat di masjidku lebih baik hingga seribu kali dari sholat di tempat lain kecuali dimasjid Haram (Mekkah), maka diapun lalu terduduk dan kemudian kembali ke rumahnya mentaati apa yang disampaikan Nabi saw kepadanya dan melaksanakan segala perintahnya . (Al-Hakim).
Al-Arqom selalu berjihad di jalan Allah, tidak bakhil dengan harta yang dimilikinya, jiwanya dan waktunya hanya digunakan untuk membela Islam dan kaum muslimin hingga datang kepadanya sakit yang membuat kepada kepangkuan Allah SWT.
Saat belaiu merasakan ajalnya telah dekat pada masa pemerintahan Mu’awiyah bin Abi Sofyan –semoga Allah meridloinya-, beliau menyampaikan wasiat agar disholatkan oleh Sa’ad bin Abi Waqqash –semoga Allah meridloinya-, kemudian saat Al-Arqom meninggal Sa’ad tidak berada di Madinah, maka Marwan bin Al-Hakam yang menjabat sebagai gubernur Madinah ingin menyolatkannya namun ditolak oleh Ubaidillah bin Al-Arqom, hingga Marwan berkata : apakah seorang sahabat Rasul tertahan dengan seseorang yang gaib (tidak ada ditempat) ? namun anaknya tetap menolak bapaknya disholatkan selain oleh Sa’ad bin Abi Waqqash, yang diikuti oleh bani Makhzum, hingga pada akhirnya datanglah Sa’ad dan menyolatinya lalu dimakamkan di Aqiq pada tahun 55 H.


Beliau adalah Bilal bin Rabah Al-habsyi –semoga Allah meridloinya-, beliau telah lebih dahulu mendengar seruan Rasulullah saw yang membawa agama Islam, yang menyeru untuk beribadah kepada Allah yang Esa, dan meninggalkan berhala, menggalakkan persamaan antara sesama manusia, memerintahkan kepada akhlak yang mulia, sebagaimana beliau juga selalu mengikuti pembicaraan para pemuka Quraisy seputar Nabi Muhammad saw.
Beliau mendengar tentang sifat amanah Rasulullah saw, menepati janji, kegagahannya, kejeniusan akalnya, menyimak ucapan mereka : “Muhammad sama sekali tidak pernah berdusta, beliau bukan ahli sihir, bukan orang gila, dan terakahir beliau juga mendengar pembicaraan mereka tentang sebab-sebab permusuhan mereka terhadap Nabi Muhammad saw.
Maka Bilal-pun pergi menghadap Rasulullah saw untuk mengikrarkan diri masuk Islam karena Allah Tuhan semesta alam, kemudian menyebarlah perihal masuknya Bilal kedalam agama Islam diseluruh penjuru kota Mekkah, hingga sampai kepada tuannya Umayyah bin Kholaf dan menjadikannya marah sekali sehingga ingin menyiksanya dengan sekeras-kerasnya.
Orang-orang kafir selalu menyiksa beliau dengan mengeluarkannya ke tengah padang pasir saat terik matahari, waktu yang menjadikan padang pasir seakan seperti padang api yang sangat panas, mereka melemparkan Bilal dengan bertelanjang diatas pasir yang terik , kemudian menindihkannya dengan batu yang sangat besar yang diletakkan diatas tubuhnya, dan penyiksaan yang kejam ini terus berulang setiap hari, namun Bilal tetap bersabar dan tabah dalam berpegang teguh terhadap agamanya, kemudian berkata Umayah bin Kholaf kepadanya : “Engkau akan terus seperti ini hingga mati atau engkau tinggalkan Muhammad, dan kembali menyembah Latta dan Uzza”. Namun Bilal tetap bersikukuh dan hanya dapat berkata : “Ahad, Ahad”.
Bilal tidak merasa dirinya hina setelah merasakan ni’matnya Iman sehingga tidak memperhatikan lagi apa yang menimpa dirinya di jalan Allah, kemudian para pemuka Quraisy menyuruh anak-anak mereka untuk berkeliling mengarak dirinya dilorong-lorong dan jalan-jalan kota Mekkah untuk memberikan pelajaran kepada siapa yang mengikuti jejak Muhammad, namun Bilal tidak mengucapkan kata-kata sedikitpun kecuali satu kalimat singkat : “Ahad, Ahad” sehingga Umayah naik pitam dan tambah marah serta menyiksanya kembali dengan kejam.
Pada suatu hari, saat Umayah bin Kholaf memukuli Bilal dengan pecutnya Abu Bakar Ash-Shidiq lewat dan berkata kepadanya : “Wahai Umayah tidakkah engkau takut kepada Allah dalam diri orang miskin ini ?” “Sampai kapan engkau akan berhenti manyiksa seperti ini ? “. Umayahpun berkata kepada Abu Bakar : “Engkau telah merusaknya dan saya ingin menyelamatkannya seperti yang engkau lihat”. Lalu Umayah mencambuknya kembali, hingga merasa putus asa dan meminta kepada Abu Bakar untuk membelinya, akhirnya Abu Bakar membelinya dengan 3 keping emas sebagai ganti dari pembebasan Bilal, setelah itu Umayah berkata kepada Abu Bakar : “Demi Latta dan Uzza, jika engkau abaikan ini dan engkau membelinya dengan 1 keping emas maka aku manjualnya kepadamu”. Lalu Abu Bakar berkata kepadanya : “Demi Allah jika engkau mengabaikannya dan ingin menjualnya dengan seratus keeping emas maka aku akan membelinya”. Kemudian Abu Bakar dan Bilal pergi menghadap Rasulullah saw dan mengabarkan kemerdekaannya.
Setelah Nabi saw dan kaum muslimin hijrah ke Madinah dan menetap disana, Rasulullah saw memilih Bilal untuk menjadi muadzin pertama untuk Islam, namun Bilal tidak hanya ditugaskan pada seputar adzan saja, tapi juga selalu menyertai Rasulullah saw dalam setiap peperangan, dan saat terjadi perang Badr sebagai petemuan pertama antara kaum muslimin dengan orang-orang Quraisy, orang-orang Quraisy membawa pasukannya dengan banyak, hingga berkecamuklah peperangan yang pada akhirnya kemenangan berada dipihak kaum muslimin.
Saat terjadi perang, Bilal menghadang Umayah dan berkata kepadanya : “Pemimpin kekufuran adalah Umayah bin Kholaf, saya tidak akan selamat jika jiwa dia selamat”. Akhirnya riwayat hidup Umayah berakhir di tangan Bilal, tangan yang sebelumnya banyak dibelenggu dengan rantai-rantai dari besi, dan tubuh yang selalu dicambuk dengan pacut.
Bilal hidup bersama Rasulullah saw dan selalu mengumandangkan Adzan unutk sholat, dan menghidupkan syi’ar agama ini yang telah mengeluarkannya dari kegelapan kepada cahaya, dari perbudakan pada kemerdekaan, hingga setiap hari kedekatan Bilal dengan Rasulullah saw kian bertambah yang mana beliau (Rasulullah saw) pernah mensifatinya dengan calon penghuni surga, namun demikian beliau tetap seperti biasa, Bilal yang ramah, sopan tidak pernah merasa dirinya lebih baik dari sahabatnya yang lain.
Suatu hari, Bilal pergi bermaksud meminang dirinya dan saudaranya kapada dua wanita, lalu berkata kepada kedua orang tuanya : “Saya adalah Bilal dan ini adalah saudara saya, seorang hamba dari Habsyah, kami pernah tersesat namun kemudian mendapatkan hidayah dari Allah, kami tadinya seorang hamba kemudian Allah memerdekakan kami, jika engkau menikahkan kami maka segala puji hanyalah untuk Allah, namun jika ditolak maka tidak ada daya dan upaya kecuali karena Allah”. Akhirnya mereka dinikahkan.
Bilal –semoga Allah meridloinya- merupakan seorang hamba yang taat, wara’, tekun beribadah, nabi pernah bersabda kepadanya setelah sholat subuh : “Ceritakan kepada saya perbuatan apa yang telah engkau lakukan dalam Islam, karena sesungguhnya pada suatu malam saya mendengar suara sendal kamu berada di pintu surga”, Bilal berkata : “Saya tidak melakukan sesuatu apapun yang lebih baik melainkan saya tidak pernah bersuci dengan sempurna pada setiap saat; baik malam dan siang hari kecuali saya melakukan sholat sebagaimana yang ditentukan untuk saya melakukan sholat”. (Al-Bukhari).
Bilal sangat sedih saat kepergian Nabi saw, dan beliau merasa tidak bisa tinggal di Madinah setelahnya, maka beliaupun meminta kepada khalifah Abu Bakar pergi ke Syam untuk berjihad di jalan Allah, dan menyebutkan hadits Rasulullah saw : “Seutama-utama perbuatan orang yang beriman adalah Jihad di jalan Allah”. (At-Thobroni). Kemudian Bilal pergi ke negeri Syam, lalu berjiahd disana hingga wafat –semoga Allah meridolinya-.


Beliau adalah sahabat yang mulia, bernama Mush’ab bin ‘Umair –semoga Allah meridloinya-, atau biasa dipanggil dengan Mush’ab Al-Khair, saat mudanya dan sebelum masuk Islam merupakan seorang pemuda yang ganteng, gagah dan kaya raya, selalu memakai pakaian yang mewah dan dikenal oleh masyarakat Mekkah dengan penampilannya yang selalu necis dan style, sedangkan bapak dan ibunya merupakan orang terpandang yang terkaya dari penduduk Mekkah yang kaya raya, dan keduanya sangat mencintainya, karena itu setiap keinginannya selalu dipenuhi dan permintaannya selalu dituruti.
Mush’ab mendengar apa yang telah didengar oleh penduduk Mekkah dari seruan (dakwah) Nabi Muhammad saw untuk beribadah kepada Allah SWT saja dan meninggalkan penyembahan berhala yang tidak bisa memberikan manfaat dan mudhorat, memberikan persamaan antara manusia dan menyeru untuk berbuat dengan akhlak yang mulia, hingga jiwanya pun tergerak dan batinnya bergolak ingin mengetahui lebih jauh agama yang baru didengarnya ini, hingga, tidak beberapa lama beliau segera menemui Rasulullah saw di tempat Darul Arqom bin Abi Al-Arqom dan mengiklankan diri untuk masuk Islam.
Adapun ibunya Khonnas binti Malik memiliki kewibawaan yang tinggi dan Mush’abpun sangat menghormatinya, setelah masuk Islam beliau merasa khawatir berita ini tersebar dan sampai kepada ibunya, sehingga beliau merasa perlu menyembunyikan perihal dirinya telah masuk Islam hingga datang waktu yang tepat seperti yang telah Allah tetapkan ketentuannya.
Beliau selalu datang kepada Nabi saw di dar el-arqom untuk menunaikan sholat dan mendengarkan ayat-ayat Allah, namun pada suatu hari Utsman bin Tolhah melihat dirinya sedang menunaikan sholat bersama Rasulullah saw, akhirnya diapun pergi kepada ibunya dan mengabarkan apa yang disaksikannya, maka terbanglah jiwanya hingga diri sang bunda dan kaumnya sangat marah terhadapnya, namun pemuda yang beriman dan teguh keimanannya tetap tenang berdiri dihadapan mereka sambil membacakan ayat-ayat Al-Qur’an dengan harapan Allah SWT membukakan hati mereka dengannya, namun Allah SWT berkehendak lain, hingga akhirnya mereka memutuskan untuk menahan dan mengurung beliau serta menyiksanya, namun beliau tetap bersabar dan menganggapnya semua ini merupakan perjuangan di jalan Allah.
Suatu hari ibunya tidak memberikan kepadanya makanan dan melarang memakan makanan miliknya bagi siapa yang mengecam dan mengejek tuhan-tuhannya walaupun dia anaknya sendiri, bahkan dia mengusirnya dari rumahnya sambil berkata : “Pergilah engkau menuruti urusanmu dan jangan anggap lagi saya sebagai ibumu”. Walaupun dengan tindakan yang sedemikian keras dan kejamnya Mush’ab tetap berusaha mendekati ibunya dan berkata kepadanya : “Wahai ibuku, saya punya nasehat untuk engkau, dan atasmulah kasih sayang, maka bersaksilah bahwa tidak ada Ilah kecuali Allah dan bahwasannya Muhammad hamba Allah dan utusan-Nya”. Maka beliaupun menjawab dengan kemarahan :”saya bersumpah untuk tuhan-tuhan, saya tidak akan masuk ke dalam agamamu hingga saya menjadi hina dan akal saya menjadi lemah”.
Saat Mush’ab mendengar sebagian kaum muslimin keluar melakukan hijrah ke Habsyah, beliaupun ikut melakukannya, kemudian kembali ke Mekkah bersama mereka yang kembali kesana, dan saat itupun kaumnya melihat keadaan beliau setelah kembali hingga hati mereka menjadi trenyuh dan merasa kasihan dan tidak melakukan penyiksaan kembali.
Dan setelah berlangsungnya bai’at pertama dan kedua, seseorang dari kaum Anshor datang kepada Nabi saw meminta untuk diutus salah seorang dari sahabat yang pandai membaca Al-Qur’an untuk mengajarkan kepada mereka tentang Al-Qur’an dan perkara agama. Maka Rasulullah saw memilih Mush’ab untuk menjadi duta pertama keluar Mekkah, dan orang yang pertama kali hijrah ke Madinah Al-Munawwaroh, dan Mush’ab pun akhirnya meninggalkan kota Mekkah untuk yang kedua kalinya mengikuti perintah Allah dan Rasul-Nya, dan mengemban amanat da’wah kepada Allah, dan memohon pertolongan dari Allah akan ni’mat yang dikaruniakan kepadanya berupa akal yang jernih, akhlak yang mulia, hingga penduduk Madinah merasa takjub dengan kezuhudannya dan keikhlasannya sampai mereka mau masuk kepada agama Allah.
Mush’ab menyeru manusia kepada agama Allah dengan penuh hikmah dan mau’idzah hasanah (pelajaran yang baik), sehingga banyak dari para pemuka penduduk Madinah yang masuk Islam karenanya, seperti : Asid bin Khadir dan Sa’ad bin Mu’adz.
Hari-hari pun berlalu hingga berganti minggu, bulan dan tahun, dan akhirnya Rasulullah saw dan sahabatnya melakukan hijrah ke Madinah, sedangkan orang-orang suku Quraisy naik pitam hingga mereka menyiapkan bala tentara mereka untuk menyerang kaum muslimin, dan peperanganpun terjadi, pasukan muslim bertemu dengan orang-orang kafir dalam perang Badr, hingga akhirnya kaum muslimin memenangkan perang tersebut. Kemudian datang perang Uhud dan Rasulullah saw memilih Mush’ab untuk membawa bendera, kemudian perangpun berkecamuk dengan dahsyatnya, dan pada mulanya kaum muslimin memenangkan perang tersebut namun seketika menjadi suatu kekalahan saat para pemanah melanggar instruksi Rasulullah saw, mereka turun dari gunung dan berebut mengambil harta rampasan, hingga orang-orang musyrik berbalik menyerang kaum muslimin sehingga barisan muslimin bercerai berai, sedangkan pada saat itu para musuh berkonsentrasi ingin membunuh Rasulullah saw hingga mereka selalu mencari dan mengintai beliau, namun Mush’ab mengetahui kejadian tersebut hingga secepat kilat beliau berteriak dan melakukan putaran dan menyerang guna mengalihkan musuh kepada rencana busuk mereka untuk membunuh Rasulullah saw, beliau masuk ke tengah-tengah barisan musuh, lalu salah seorang dari mereka menebas tangan kanannya hingga putus, kemudian Mush’ab memegang bandera dengan tangan kirinya dan ditebas lagi hingga putus, akhirnya beliau berusaha meraih bendera tersebut dengan dadanya sambil berkata : “Tidaklah Muhammad itu orang lain kecuali Utusan Allah dan telah berlalu sebelumnya para Rasul”. Akhirnya musuh yang sedang kesetanan saat itu memukulnya dan membunuhnya hingga Mush’abpun syahid.
Setelah perang Uhud berakhir Rasulullah saw dan para sahabatnya melakukan pemeriksaan tempat kejadian perang, guna mencari dan mengubur para syuhada, dan disisi mayat Mush’ab mengalir air mata yang deras, mereka tidak mendapatkan kain yang dapat dijadikan penutup terhadapnya kecuali pakaiannya yang pendek, jika kepalanya ditutup maka kakinya akan terbuka dan jika kakinya ditutup maka kepalanya akan terbuka, maka Nabipun bersabda : “Tutuplah kepalanya dengan kain itu dan letakkanlah diatas kakinya Idzhir (tanaman yang memiliki wangi yang harum)!!”.
Mush’ab kembali keharibaan Allah dan benarlah firman Allah SWT : “Di antara orang-orang Mu’min itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah; maka diantara mereka ada yang gugur. Dan diantara mereka ada (pula) yang menunggu-nunggu, dan mereka sedikitpun tidak merubah janjinya”. (QS. Al-Ahzab : 23). Sambil melihat para syuhada Uhud Rasulullah saw bersabda : “Saya bersaksi bahwa mereka adalah para syuhada disisi Allah pada hari kiamat kelak, dan demi yang jiwaku berada pada genggaman-Nya tidaklah seseorang memberikan salam kepada mereka hingga hari kiamat kecuali akan kembali kebaikannya kepadanya”. (Al-Hakim dan Al-Baihaqi).

2 Januari 2009 pukul 03.17  
marwan mengatakan...

PROFESIONALISME DALAM DAKWAH

Oleh: Dr. Attabiq Luthfi, MA

“Katakanlah: “Inilah jalan (agama) ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah (argumentasi) yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik”. (Yusuf: 108)

Kata kunci dari ayat ini seharusnya adalah kata “Bashirah” yang merupakan acuan profesionalitas dalam Islam. Semakin luas dan tajam bashirah seseorang, akan semakin profesional menggeluti bidang kerjanya. Apalagi konteks ayat ini jelas dalam konteks dakwah yang merupakan pekerjaan yang paling mulia. Dalam ayat ini Allah mendampingkan proses kewajiban dakwah dengan bashirah sebagai sebuah faridhah syar’iyyah yang dituntut oleh Islam. Justru kehidupan ini diciptakan oleh Allah diantaranya memang untuk menguji siapa yang benar-benar ihsan (baca: profesional) dalam beramal. “Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya” (Al-Mulk: 2).

Ibnu Katsir mengidentifikasi bashirah sebagai sebuah keyakinan yang berlandaskan argumentasi syar’i dan aqli yang kokoh, serta tidak taklid buta. Menurut Syaukani, bashirah adalah pengetahuan yang mampu memilah yang hak dari yang bathil, yang benar dari yang salah dan begitu seterusnya. Inilah bangunan profesionalisme dalam dakwah yang tegaskan oleh ayat di atas; yaitu beramal dan berdakwah atas dasar ilmu, keyakinan, tiada keraguan apalagi persepsi yang tidak benar terhadap dakwah. Disinilah peri pentingnya sebuah pembinaan yang kontinu – meskipun – terhadap da’i, karena da’i lah justru inti dari sebuah proses dakwah. Bahkan dikatakan dalam sebuah pepatah “beramal tanpa ilmu lebih banyak merusaknya daripada memperbaiki”.

Agar rasa dan sikap profesionalitas tampil, maka segala aktifitas seseorang harus diawali dengan sebuah kesadaran “nawaitu” yang benar. Diawali dengan taubatan nasuha yang akan memperbaiki hubungan dengan Allah. Salah dan bergesernya niat akan turut mempengaruhi kinerja seseorang dan mengakibatkan kerja yang asal-asalan, tidak sempurna dan cenderung apa adanya. Sofyan Tsauri pernah mengungkapkan: “Tidak ada sesuatu yang lebih aku perhatikan selain dari niat”. Inilah rahasianya kenapa setiap amal dalam Islam harus didasari niat yang benar dan tulus karena Allah. Rasa takut akan pertanggung jawaban dakwah di hadapan Allah juga akan turut memperkuat keseriusan dan kejelasan dakwah seseorang. Inilah maksud firman Allah swt: “(yaitu) orang-orang yang menyampaikan risalah-risalah Allah, mereka takut kepada-Nya dan mereka tiada merasa takut kepada seorang(pun) selain kepada Allah. Dan cukuplah Allah sebagai Pembuat Perhitungan”. (33: 39)

Dalam konteks ini, Dr. Ali Abdul Halim Mahmud menegaskan bahwa “Ahliyyatud Du’at” (baca: kualifikasi dan profesionalisme para da’i) merupakan persoalan besar dalam dakwah yang harus diperhatikan dengan baik dan tidak boleh diabaikan dalam keadaan apapun. Karena para da’i dari kalangan nabipun merupakan manusia pilihan Allah, “Allah memilih utusan-utusan-(Nya) dari malaikat dan dari manusia; sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat”. (Al-Hajj: 75). Selanjutnya Ibnu Qayyim merumuskan beberapa bangunan profesionalisme dakwah yang ternyata diawali dengan persoalan ilmu: Memiliki landasan ilmu atas apa yang ia sampaikan (Al-Ilmu Bima Yuballigh) yang diteruskan secara implementatif dengan sikap jujur dan benar terhadap apa yang ia sampaikan (Ash-Shidqu Fima Yuballigh) . Disinilah kedudukan ilmu sebagai pondasi dalam beramal. “Setiap orang yang beramal tanpa ilmu, maka amalnya tertolak, tidak diterima”.

Seorang yang profesional adalah seorang yang tekun, sabar dan tahan godaan, senantiasa dinamis dan mencari kreatifitas baru dalam berdakwah, karena memang ia tidak akan pernah setuju dan rela jika dakwah ini vakum, berjalan di tempat dan tidak mendapat tempat di hati umat. Contoh paling fenomenal adalah nabi Nuh as. Ditengah penolakan kaumnya, ia tetap mencari terobosan baru dalam berdakwah agar keberlangsungan dakwah bisa dipertahankan. Ia tetap komit dan tegar, bahkan mencari alternatif sarana dakwah yang beragam sesuai dengan kondisi dan tuntutan kaumnya: “Nuh berkata: “Ya Tuhanku sesungguhnya aku telah menyeru kaumku malam dan siang, maka seruanku itu hanyalah menambah mereka lari (dari kebenaran)…… Kemudian sesungguhnya aku telah menyeru mereka (kepada iman) dengan cara terang-terangan kemudian sesungguhnya aku (menyeru) mereka (lagi) dengan terang-terangan dan dengan diam-diam”. (Nuh: 5-9).

Disinilah profesionalitas kita akan terus diuji dengan beragam ujian sehingga akan lahir kaliber manusia yang diabadikan oleh Allah sebagai kelompok yang tetap tegar dan jujur dalam dakwah mereka, “Di antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah; maka di antara mereka ada yang gugur. Dan di antara mereka ada (pula) yang menunggu- nunggu dan mereka tidak merobah (janjinya)”. (Al-Ahzab: 23). Inilah prinsip yang senatiasa dipegang oleh para pendahulu dakwah, karena mereka yakin bahwa kecintaan Allah hAnya akan dianugerahkan kepada mereka yang beramal dengan tulus, cerdas, tuntas dan serius. Rasulullah saw bersabda: “Sesungguhnya Allah cinta jika hambaNya beramal dengan itqan”. Itqan dalam arti berbuat lebih banyak, lebih bermutu dan berkualitas dari umumnya orang mampu berbuat dan bekerja, seperti yang Allah gambarkan tentang kelompok manusia muhsin yang mampu beramal, lebih tinggi di atas rata-rata kebanyakan manusia sanggup beramal. “Sesungguhnya mereka sebelum itu di dunia adalah orang-orang yang berbuat dengan ihsan. Di dunia mereka sedikit sekali tidur diwaktu malam. Dan selalu memohonkan ampunan diwaktu pagi sebelum fajar”. (Adz-Dzariyat: 16-18)

Ruang dakwah ke depan memang akan menuntut lebih profesionalisme kita dalam konteks “keilmuan” yang bisa dipertanggungjawabkan (bashirah) sehingga dakwah citra dakwah ini akan tetap baik seiring dengan permasalahan dan perkembangan dunia global yang lebih menantang. Mari ciptakan suasana ilmiyyah yang merupakan komponen dasar dari profesionalitas dalam dakwah kita. Allahu a’lam
source : dakwatuna.com

2 Januari 2009 pukul 03.24  

Posting Komentar